Aceh Utara, Buana News – Di tengah gemerlap pembangunan di Kabupaten Aceh Utara, kisah pilu Kehidupan warga di Gampong Deng, Kecamatan Tanah Luas, mencerminkan ironi kehidupan. M. Taib, bersama empat orang anggota keluarganya, tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kata layak huni. Atapnya hanya terbuat dari daun rumbia yang ditambal dengan terpal bekas, dindingnya dari anyaman bambu yang telah lapuk dimakan usia, sementara lantainya masih berupa tanah.
Ditemui di kediamannya, M Taib mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan bantuan rumah layak huni dari pemerintah, ia memerlukan dana sebesar Rp10 juta. Tanpa uang tersebut, ia mengaku tidak akan pernah bisa menikmati rumah yang layak.
“Saya tidak punya uang sebanyak itu. Untuk makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi harus menyediakan uang sebanyak itu,” ujar M. Taib dengan mata berkaca-kaca.
Yang lebih memprihatinkan, kondisi sanitasi yang buruk di rumah tersebut telah merenggut nyawa anak perempuannya. Sang anak meninggal dunia setelah terjatuh ke dalam sumur tanah yang sudah tidak layak digunakan. Kehilangan ini menjadi pukulan berat bagi dirinya, yang terus berjuang menghidupi keluarganya di tengah keterbatasan.
Ironisnya, rumah sederhana ini berdiri di tengah gedung-gedung megah milik pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan perusahaan migas yang terus mengeksploitasi kekayaan bumi Pasee. Namun, keberadaan perusahaan besar dan infrastruktur pemerintah tersebut tampaknya belum mampu mengubah nasib kaum miskin di daerah tersebut.
Geuchik Gampong Deng, Yulinar Mansyah, mengaku pihak desa tidak memiliki dana yang cukup untuk membantu Kasmiati membangun rumah yang layak. “Dana desa tidak bisa digunakan untuk membangun rumah. Kami hanya bisa berharap ada bantuan dari pemerintah kabupaten atau aspirasi dari para dewan untuk membantu warga seperti Kasmiati,” ujar Yulinar.
Dari hasil pemantauan media, fenomena kemiskinan ekstrem seperti yang dialami Kasmiati bukanlah kasus yang langka di Aceh Utara. Banyak masyarakat miskin yang benar-benar membutuhkan rumah layak huni, namun tidak mendapat perhatian. Bahkan, isu jual beli bantuan rumah layak huni sudah menjadi rahasia umum yang belum terselesaikan.
Di usia ke-79 tahun Indonesia merdeka, kisah M. Taib dan keluarganya adalah cerminan perjuangan panjang yang belum usai. Diperlukan keberpihakan nyata dari pemerintah dan pihak terkait untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di bumi Serambi Mekkah.