Aceh Utara, Buana.News — Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Aceh dalam beberapa pekan terakhir diduga kuat berkaitan dengan maraknya perambahan hutan dan penggarapan lahan perkebunan secara tidak terkendali.
Dugaan tersebut menguat setelah ditemukan banyak batang kayu hanyut dan tertimbun di kawasan terdampak banjir, khususnya di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen.
Banjir disertai lumpur dan material kayu melanda sejumlah daerah di Aceh. Peristiwa ini diduga dipicu oleh kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan dan pembukaan lahan baru, termasuk di kawasan yang semestinya dilindungi.
Wilayah yang terdampak meliputi Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen dan sejumlah kabupaten lain di Aceh. Adapun pengawasan kehutanan di daerah ini berada dalam wilayah kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 5 Jaya Pase, yang mencakup Aceh Utara, Bireuen, dan Kota Lhokseumawe.

Banjir terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Pernyataan pemerhati lingkungan disampaikan pada Sabtu, 20 Desember 2025, sementara klarifikasi dari KPH 5 Jaya Pase disampaikan pada Senin, 22 Desember 2025.
Seorang pemerhati lingkungan Aceh yang enggan disebutkan namanya menyoroti lemahnya pengawasan hutan. Sementara itu, pihak KPH 5 Jaya Pase diwakili oleh Kepala Seksi Perlindungan Hutan, Yefrianto, memberikan tanggapan terkait dugaan perambahan hutan di wilayah kerjanya.

Menurut pemerhati lingkungan tersebut, hutan Aceh telah menjadi sasaran empuk para pengusaha kayu dan penggarap lahan perkebunan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.
Lemahnya pengawasan dari pihak berwenang, termasuk aparat kehutanan, membuat aktivitas penebangan hingga ke kawasan hutan lindung diduga berlangsung bebas. Kondisi ini dinilai berbahaya karena dapat memicu bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
“Hutan Aceh telah dijarah tanpa memperhatikan keberlanjutan. Dampaknya sangat nyata, seperti banjir berlumpur dan longsor yang terjadi baru-baru ini,” ujarnya.
Pemerhati lingkungan berharap peristiwa banjir ini menjadi peringatan serius bagi semua pihak untuk segera memulihkan dan menjaga kelestarian hutan Aceh, serta mendorong aparat kehutanan dan penegak hukum agar bertindak tegas terhadap pelaku perambahan hutan demi mencegah bencana serupa terulang di masa mendatang

Menanggapi hal tersebut, Yefrianto selaku Kasi Perlindungan Hutan KPH 5 Jaya Pase mengaku belum menerima laporan resmi terkait perambahan hutan dan pembukaan lahan baru di wilayah kerjanya. Namun, ia tidak menampik bahwa ditemukannya sisa-sisa kayu di daerah terdampak banjir menjadi indikasi awal adanya dugaan perambahan hutan.
“Kami akan memperketat pengawasan terhadap seluruh usaha kayu, seperti sawmill (shaumil) dan panglong kayu di wilayah kerja KPH 5. Setiap shaumil harus memiliki lahan yang sah dan tidak boleh berada di kawasan hutan lindung,” jelasnya.
Yefrianto juga mengakui bahwa pihaknya belum memiliki data akurat terkait luas kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan Hutan Produksi Lestari (HPL) di wilayah KPH 5. Hal ini disebabkan karena KPH 5 Jaya Pase baru efektif berkantor kurang dari dua bulan di Kecamatan Syamtalira Bayu. “Sebelumnya, di sini hanya terdapat Pos Polhut yang berada di bawah KPH 3 dengan kantor di Kota Langsa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Yefrianto menyebut dugaan perambahan hutan dan peredaran kayu ilegal melibatkan berbagai pihak dalam rantai usaha kayu. Oleh karena itu, KPH 5 berencana melakukan razia besar-besaran terhadap aktivitas ilegal logging, dengan sasaran utama shaumil dan panglong kayu.
“Kami akan melakukan penertiban secara menyeluruh. Namun, proses ini membutuhkan waktu dan diperkirakan hingga satu tahun ke depan untuk penataan dan pengawasan yang maksimal,” pungkasnya.






