Banda Aceh, Buana.News — Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin, mengirim sinyal S.O.S kepada Presiden Prabowo Subianto terkait dua persoalan genting di Aceh: pengalihan wilayah empat pulau Aceh ke Sumatera Utara dan belum tuntasnya alih kelola blok migas di Aceh.
Safar menyoroti Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil, yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang kini masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Selain itu, Ia juga menyebut keputusan tersebut sebagai tindakan inkonstitusional yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Kebijakan sepihak ini berpotensi merusak kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat, yang telah dibangun pasca-perdamaian Helsinki,” kata Safar dalam pernyataan tertulis yang diterima Buana.News, Senin (16/5).
Persoalan ini melibatkan Kemendagri, Pemerintah Aceh, serta masyarakat di wilayah Aceh Singkil. Nama Safrizal, mantan Pj Gubernur Aceh yang juga menjabat Dirjen Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, turut disebut dalam dugaan peran pengalihan wilayah empat pulau tersebut.
Sementara itu, dalam urusan migas, pihak yang disorot antara lain Kementerian ESDM, SKK Migas, Pertamina, serta Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).
Empat pulau yang dipermasalahkan terletak di Kabupaten Aceh Singkil, namun kini disebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Adapun konflik pengelolaan migas terjadi di wilayah Aceh Tamiang dan Aceh Timur, khususnya pada blok Rantau Perlak dan Kuala Simpang.
Permasalahan wilayah pulau muncul setelah keluarnya SK Mendagri pada tahun 2025. Sementara itu, polemik migas telah berlangsung sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Migas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
Safar menyebut keputusan pengalihan empat pulau sebagai bentuk “perampasan wilayah” yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam stabilitas perdamaian Aceh. Ia menambahkan, terdapat dugaan bahwa pengalihan wilayah tersebut dipicu oleh potensi sumber daya minyak dan gas (migas) di kawasan tersebut.
“Potensi migas jangan menjadi dalih untuk membegal wilayah Aceh dan menghancurkan perdamaian yang telah dirawat sejak MoU Helsinki 2005,” tegas Safar.
Adapun soal migas, Safar mempertanyakan mengapa hingga kini pengelolaan blok migas di Aceh Timur dan Tamiang belum sepenuhnya dialihkan ke BPMA, meskipun sudah disepakati oleh Kementerian ESDM dan Pemerintah Aceh. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat UUPA.
YARA meminta Presiden Prabowo turun tangan langsung untuk menyelesaikan dua persoalan besar ini. Pertama, mengembalikan empat pulau ke dalam wilayah administrasi Aceh sesuai ketentuan hukum dan hasil kesepakatan damai. Kedua, mempercepat alih kelola migas dari SKK Migas dan Pertamina ke BPMA, sebagaimana diperintahkan dalam PP 23/2015.
Safar juga menyinggung dugaan pemaksaan proses rekrutmen Kepala BPMA oleh Safrizal saat menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh, yang menurutnya turut menghambat proses alih kelola migas. Ia menyebut permintaan penundaan rekrutmen telah disampaikan oleh Komite Pengawas BPMA saat itu, Muzakir Manaf, namun diabaikan.
“Kami mendesak Presiden Prabowo agar menjadikan dua isu ini sebagai prioritas kebijakan, demi menjaga perdamaian dan martabat Aceh sebagai wilayah yang memiliki keistimewaan,” tutup Safar dalam keterangan usai menghadiri acara penutupan pelatihan Paralegal di Kantor Bupati Pidie.