Beranda Aceh TNI Kembali Melakukan Kekerasan terhadap Jurnalis di Aceh

TNI Kembali Melakukan Kekerasan terhadap Jurnalis di Aceh

Ilustrasi Kekerasan Terhadap Wartawan. (Foto: Istimewa)

Banda Aceh, Buana.News – AKSI perampasan alat kerja jurnalis yang dilakukan oleh aparat keamanan kembali terjadi di Aceh. Tindakan bercorak kekerasan terhadap insan pers yang berulang ketika meliput situasi pascabencana, memunculkan dugaan yang kuat adanya upaya sistematis yang disengaja oleh negara untuk mengerangkeng dan mengendalikan informasi guna menutupi kegagalan pemerintah dalam menangani krisis.

Kejadian yang sama sebelumnya menimpa Davi Abdullah, yang merupakan jurnalis Kompas TV Aceh. Pada Kamis, 11 Desember 2025, Davi mengalami perampasan alat kerja serta penghapusan karya jurnalistik yang dilakukan oleh sejumlah aparat keamanan dari kalangan TNI di kawasan Posko Terpadu Penanganan Bencana Alam di Lanud Sultan Iskandar Muda sebagai pangkalan operasi jajaran Koopsau I, dengan aktor utama Aster Kasdam IM, Kolonel Inf Fransisco.

Davi saat itu sedang mengambil visual untuk keperluan siaran langsung dan secara kebetulan menyoroti keberadaan tim medis warga negara asing (WNA) yang terlihat di Lanud Sultan Iskandar Muda. Alat kerja Davi berupa handphone dirampas sementara fail rekaman video yang tersimpan di dalamnya dihapus paksa.

Perampasan alat kerja juga ikut menyasar Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Lhokseumawe, Muhammad Fazil, pada Kamis, 25 Desember 2025. Pelakunya adalah anggota TNI berpangkat praka bernama Junaidi.

Fazil yang merupakan jurnalis Portalsatu saat itu sedang meliput aksi damai yang berlangsung di depan kantor bupati Aceh Utara, Landing, Lhoksukon, Kamis, 25 Desember 2025. Aksi ini merupakan rentetan yang tak terpisahkan dari gerakan sporadis yang berlangsung di Aceh belakangan ini, yang mendesak pemerintah untuk menetapkan status darurat bencana nasional atas banjir dan longsor Sumatra.

Melalui kamera handphone, Fazil merekam dugaan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) tiba-tiba menghampiri Fazil dan memaksanya menghapus rekaman video yang baru diambil tadi.

Fazil berusaha menjelaskan bahwa ia merupakan seorang jurnalis sewaktu dirinya dipaksa untuk menghapus rekaman video yang baru diambil, tetapi tentara tersebut dengan terang-terangan mengatakan dirinya tidak peduli walaupun Fazil seorang jurnalis. Setelah anggota TNI tersebut melenggang pergi, tidak lama kemudian, Fazil kembali dihampiri oleh salah seorang anggota TNI lainnya, yaitu Praka Junaidi, yang secara kasar dan arogan berupaya merampas handphone dari tangan Fazil sembari mengancam akan ‘melempar’ handphone tersebut apabila rekaman video yang diambil Fazil tidak segera dihapus.

Satu-satunya handphone yang selama ini digunakan oleh Fazil sebagai alat kerja dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik mengalami kerusakan sewaktu berusaha mempertahankan gawai tersebut. Meskipun fail rekaman video tersebut masih tersimpan di dalam perangkat miliknya, tetapi kerusakan tadi telah mengakibatkan pekerjaan Fazil sebagai jurnalis terhambat yang berakibat pada sejumlah kerugian terutama dari segi etos kerja karena sebagai jurnalis ia bertanggung jawab atas kepentingan publik serta terhadap perusahaan media tempatnya bekerja.

Sebagaimana respons KKJ Aceh terhadap kasus yang dialami Davi Abdullah, perlu ditegaskan kembali bahwa perbuatan Praka Junaidi terhadap Fazil seratus delapan puluh derajat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan pers. Terang dan jelas bahwa jurnalis merupakan profesi yang dilindungi oleh hukum, sebagaimana dikunci di dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Secara konstitusional, negara ini juga menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi melalui pasal 28F UUD 1945, yang dengannya terwujud pula salah satu hak publik paling krusial dalam penyelenggaraan demokrasi, yakni hak untuk tahu. Secara eksplisit, UU/40/1999 melalui pasal 4 ayat (2), juga menggarisbawahi bahwa terhadap pers nasional tidak boleh dikenakan yang namanya penyensoran, pembredelan, maupun pelarangan penyiaran dalam bentuk apa pun —jaminan ini menjadi fondasi bagi keberlangsungan tatanan demokrasi serta terpenuhinya hak publik atas informasi yang benar dan independen.

Sementara itu, perbuatan Praka Junaidi identik dengan pembungkaman kemerdekaan pers melalui praktik berwatak militerisme, salah satu warisan Orde Baru yang terus-terusan diorkestrasi terutama oleh kalangan TNI. Praktik-praktik seperti yang dipertontonkan oleh Praka Junaidi memenuhi unsur pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam UU Pers, yang secara tegas melarang setiap orang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik.

Pelakunya diancam dengan hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Ancaman pidana tentu tidak boleh dipandang hanya semata sebagai sanksi administratif atau angka normatif belaka, melainkan merupakan penegasan bahwa pelanggaran terhadap kemerdekaan pers merupakan pelanggaran serius, karena ia berkaitan langsung dengan hak publik untuk memperoleh informasi, serta memastikan bahwa fungsi pers sebagai alat kontrol sosial agar penyelenggaraan kekuasaan tidak berlangsung sewenang-wenang, terutama dalam memberikan informasi yang faktual terkait penanganan krisis dan situasi pascabencana hari ini.

Karena itu, KKJ Aceh menyatakan dengan tegas bahwa:

Aksi perampasan alat kerja jurnalis yang terjadi kepada Muhammad Fazil oleh Praka Junaidi merupakan perbuatan melawan hukum yang berakibat terhambat atau terhalangnya pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dari UU Pers serta dapat dijatuhkan pidana sesuai ketentuan pasal 18 dari UU tersebut;

Insiden yang menimpa Muhammad Fazil serta kasus kekerasan terhadap jurnalis menjadi preseden buruk bagi situasi penanganan darurat bencana, apalagi Pemerintah Indonesia saat ini sedang disorot karena keengganan penyelenggara negara untuk menyatakan bencana Sumatra berstatus darurat bencana nasional;

Reaksi aparat keamanan yang cenderung mengedepankan pendekatan berwatak kekerasan dan arogan terhadap jurnalis yang sedang bertugas mengindikasikan adanya kegagalan dan kegagapan negara dalam penanganan krisis pascabencana;

Kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat keamanan seperti TNI menunjukkan adanya degradasi moral, martabat, kehormatan, citra, juga kredibilitas seorang prajurit TNI di mata publik, karena alih-alih mengayomi, malah menjadi salah satu entitas yang paling beringas.

Dalam hal ini, merupakan sebuah keharusan bagi Panglima TNI Jenderal, Agus Subiyanto dan Pangdam Iskandar Muda, Mayor Jenderal TNI, Joko Hadi Susilo, dan jajaran agar menjatuhkan sanksi sesuai UU Disiplin Militer terhadap setiap anggota TNI yang melakukan kekerasan tersebut. Tanpa pandang bulu.

Di samping itu, fungsi dan peranan pers amat sentral saat ini, sebab publik butuh informasi yang klir mengenai situasi pascabencana karena hal itu menyangkut kepentingan banyak orang. Dalam hal ini, negara seharusnya menjamin adanya ketersediaan informasi yang jernih dengan mendukung fungsi dan peranan pers tersebut, bukan malah sebaliknya.

Siapa pun yang merasa keberatan dengan sebuah produk jurnalistik atau pemberitaan, maka dapat menggunakan mekanisme seperti yang telah diatur di dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yakni dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi. KKJ Aceh juga mengimbau kepada para jurnalis yang bertugas meliput situasi pascabencana di Aceh agar melaporkan setiap kekerasan yang dialami atau menghubungi hotline KKJ Aceh yang tersedia.

KKJ Aceh sendiri merupakan bagian dari KKJ Indonesia. KKJ Aceh dideklarasikan pada 14 September 2024, yang saat ini beranggotakan empat organisasi profesi jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh.

Selanjutnya, tiga organisasi masyarakat sipil yang ikut menginisiasi pembentukan KKJ Aceh yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). Pada Juli 2025, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bireuen dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe juga ikut bergabung ke dalam KKJ Aceh.