Banda Aceh, Buana.News — Bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dan Sumatera telah berkembang menjadi krisis kemanusiaan.
Kerusakan ekosistem dan lingkungan hidup, korban jiwa, lumpuhnya infrastruktur, hingga meningkatnya kemiskinan masyarakat terdampak, hal itu telah menuntut untuk dilakukannya penanganan darurat yang serius, terukur, dan berkelanjutan.
Ketua DPW Masyarakat Indonesia Maju (MIM) Aceh, Muzakir Ar., menegaskan, Aceh memiliki dasar hukum yang kuat untuk membuka ruang bantuan internasional, baik dalam penanganan korban banjir maupun pembangunan pascabencana.
Menurutnya, langkah tersebut bukan pelanggaran kedaulatan negara, melainkan pelaksanaan langsung kekhususan Aceh sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Aceh bukan daerah biasa. Kekhususan Aceh diakui secara konstitusional. UUPA dengan tegas memberi ruang bagi Pemerintah Aceh untuk menjalin kerja sama internasional, khususnya dalam bidang kemanusiaan dan kebencanaan. Ini harus dihormati, bukan dicurigai,” tegas Muzakir Ar.
Ia menjelaskan, Pasal 8 dan Pasal 9 UUPA secara eksplisit memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan kerja sama internasional dan menerima bantuan dari lembaga asing, sepanjang dikoordinasikan dengan Pemerintah Pusat dan sejalan dengan kebijakan nasional. Selain itu, Pasal 165-166 UUPA juga mengatur bahwa hibah luar negeri dan bantuan internasional dapat menjadi sumber pendanaan Aceh dengan prinsip akuntabilitas.
Menurut Muzakir, pengalaman Aceh pasca tsunami 2004 menjadi bukti historis bahwa keterlibatan dunia internasional justru mempercepat pemulihan sosial, ekonomi, dan infrastruktur tanpa menggerus kedaulatan negara.
“Jika saat itu bantuan internasional dianggap sah dan menyelamatkan Aceh, mengapa hari ini dalam kondisi darurat ekologis dan kemanusiaan yang serius justru dipersepsikan sebagai ancaman?” ujarnya.
MIM menilai, lambannya penanganan banjir dan kerusakan lingkungan berpotensi memperpanjang penderitaan rakyat Aceh. Oleh karena itu, negara wajib hadir secara nyata, bukan hanya melalui simbol kebijakan, tetapi dengan membuka seluruh instrumen hukum yang tersedia, termasuk memfasilitasi bantuan internasional.
Muzakir juga mengingatkan agar kekhususan Aceh tidak direduksi menjadi simbol politik semata, sementara kebutuhan dasar masyarakat diabaikan.
“Jangan sampai kegagalan menjawab persoalan kemanusiaan justru melahirkan kegelisahan baru di tengah masyarakat. Menghormati UUPA berarti menghormati martabat dan keselamatan rakyat Aceh,” katanya.
Ia menegaskan, langkah Pemerintah Aceh untuk berinisiatif menjalin komunikasi dengan dunia internasional dalam penanggulangan bencana dan pembangunan pascabanjir harus dipandang sebagai bagian dari solusi, bukan ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dalam situasi darurat, kemanusiaan harus menjadi hukum tertinggi. Dan UUPA sudah memberi jalannya,” pungkas Muzakir Ar.
