Beranda Nasional Sidang Isbat: Wujud Kehadiran Negara dalam Layanan Keagamaan

Sidang Isbat: Wujud Kehadiran Negara dalam Layanan Keagamaan

Foto: Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad.

Jakarta, Buana.News – Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan bahwa sidang isbat bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan bentuk nyata dari tanggung jawab negara dalam memberikan kepastian hukum dan ketertiban bagi umat Islam.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Abu Rokhmad, saat membuka acara Catch the Moon di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta, Senin (24/2/2025).

“Hisab, rukyat, dan sidang isbat adalah layanan keagamaan yang diberikan negara untuk memastikan kepastian ibadah umat Islam. Ini bukan sekadar kegiatan rutin, tetapi bagian dari peran negara dalam mendukung praktik keagamaan yang tertib dan sesuai dengan syariat,” ujar Abu Rokhmad di hadapan akademisi, santri, mahasiswa, dan pemerhati ilmu falak, sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenag.

Abu Rokhmad menegaskan bahwa sidang isbat memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan layanan haji, umrah, pendidikan agama, hingga sertifikasi halal. Kehadiran negara dalam proses ini bertujuan untuk memberikan kemudahan serta kepastian hukum bagi masyarakat dalam menjalankan ibadah.

“Negara memiliki tanggung jawab dalam memastikan bahwa setiap umat Islam dapat melaksanakan ibadah dengan kepastian dan tanpa kebingungan. Oleh karena itu, pelaksanaan sidang isbat bukan hanya agenda seremonial, melainkan forum ilmiah dan keagamaan yang menetapkan awal bulan Hijriah berdasarkan metode yang sahih,” jelasnya.

Sebagai Guru Besar UIN Walisongo Semarang, Abu Rokhmad juga menguraikan dinamika yang kerap muncul terkait perbedaan metode dalam menentukan awal bulan Hijriah. Ia menekankan bahwa baik metode hisab maupun rukyat memiliki landasan ilmiah dan syariat yang kuat, serta menjadi bagian dari kekayaan intelektual Islam yang harus dihormati.

“Metode hisab menggunakan perhitungan astronomi untuk menentukan posisi bulan tanpa observasi langsung, sedangkan rukyat mengandalkan pengamatan visual terhadap hilal setelah matahari terbenam. Keduanya memiliki dasar yang valid dalam Islam dan telah digunakan selama berabad-abad. Yang lebih penting adalah menjaga ukhuwah Islamiyah dan mengedepankan sikap toleransi dalam menghadapi perbedaan,” paparnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa sidang isbat bukan hanya keputusan Kemenag semata, tetapi melibatkan berbagai pihak, termasuk ormas Islam, lembaga astronomi, dan akademisi. Pendekatan ini dilakukan agar hasil sidang dapat diterima secara kolektif oleh seluruh elemen masyarakat Islam di Indonesia.

“Sidang isbat harus menjadi wadah yang menyatukan, bukan memecah belah. Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat persaudaraan di tengah keberagaman pandangan,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah, Arsad Hidayat, menambahkan bahwa acara Catch the Moon diikuti oleh 100 peserta luring serta lebih dari 1.000 peserta daring dari berbagai kalangan, termasuk pelajar, mahasiswa, remaja Muslim, dan perwakilan ormas Islam.

Dalam kesempatan tersebut, Arsad menjelaskan tiga tujuan utama dari Catch the Moon, yaitu meningkatkan pemahaman peserta terhadap metode hisab dan rukyat, memperkenalkan tantangan serta dinamika penentuan awal bulan, serta mendorong penyebarluasan pengetahuan tersebut di lingkungan masing-masing.

Ia berharap, melalui kegiatan ini, akan lahir generasi muda yang tidak hanya memahami dasar-dasar ilmu falak dan astronomi, tetapi juga mampu mengembangkan diskusi keagamaan yang lebih ilmiah dan tidak terbatas pada perbedaan semata.

“Kita tidak boleh hanya menjadi penonton dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Umat Islam harus memahami dan menguasai ilmu falak, karena ini bukan hanya soal ibadah, tetapi juga bagian dari tradisi keilmuan Islam yang harus terus dilestarikan,” tandas Arsad Hidayat.