Banda Aceh, Buana.News — Serikat Aksi Peduli Aceh (SAPA) mendesak Kementerian Agama (Kemenag) dan Dinas Pendidikan Aceh untuk segera membubarkan seluruh komite sekolah dan madrasah di wilayah Aceh.
Desakan tersebut muncul menyusul banyaknya laporan dari wali murid mengenai dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang melibatkan peran aktif komite, terutama saat proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan sejumlah kegiatan sekolah lainnya.
SAPA menyoroti bahwa keberadaan komite sekolah dan madrasah saat ini telah menyimpang dari fungsi idealnya sebagai mitra strategis dalam pengawasan pendidikan. Komite yang seharusnya menjadi penyambung suara masyarakat dalam mengontrol kebijakan sekolah, justru dinilai menjadi alat untuk memberlakukan pungutan yang membebani orang tua siswa.
Ketua SAPA, Fauzan Adami, dalam pernyataannya, Kamis (19/6/2025), menyampaikan, dugaan pungli terjadi secara sistematis. Pungutan tersebut sering dikemas dengan istilah “hasil musyawarah” antara pihak sekolah dan komite, padahal dalam praktiknya bersifat sepihak dan cenderung memaksa.
“Ini jelas mencederai semangat pendidikan yang seharusnya inklusif, tidak diskriminatif, dan gratis sebagaimana dijamin negara. Banyak wali murid bahkan terpaksa mundur karena tidak sanggup membayar,” ujar Fauzan.
Dugaan pungutan liar dilaporkan terjadi di berbagai sekolah dan madrasah negeri di Aceh, terutama menjelang dan selama pelaksanaan PPDB. Kasus ini juga telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, dan kian dikeluhkan pada tahun ajaran baru 2025.
Menurut SAPA, komite bukan lagi menjadi sarana kontrol sosial melainkan justru memfasilitasi pembebanan biaya tidak resmi kepada siswa. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip pendidikan yang adil dan merata. Fauzan juga menyoroti bahwa pungutan yang dibebankan kepada wali murid seringkali mencapai jutaan rupiah, mencakup biaya masuk, seragam, hingga sumbangan pembangunan.
SAPA mengapresiasi madrasah yang telah mengembalikan dana pungutan kepada wali murid. Namun, mereka juga menuntut sekolah dan madrasah lain yang belum mengembalikan dana serupa agar segera melakukannya. SAPA mendorong wali murid untuk melapor apabila dana belum dikembalikan, sembari memperingatkan adanya kemungkinan proses hukum bagi pihak yang terbukti melakukan pungli.
“Kami mengimbau agar pihak sekolah tidak menahan dana pungutan. Bila tidak segera dikembalikan, maka potensi pidana bisa terjadi,” tegas Fauzan.
SAPA juga meminta Polresta Banda Aceh untuk menyelidiki secara menyeluruh aliran dana pungutan dan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Mereka menduga bahwa praktik pungli ini telah berlangsung lama dan berdampak langsung pada siswa dari keluarga miskin.
“Ada indikasi bahwa biaya tinggi diberlakukan agar hanya anak-anak dari keluarga mampu yang bisa masuk. Salah satu contohnya, seorang anak petani gagal diterima di MIN karena tak mampu membayar,” ungkap Fauzan.
SAPA menegaskan bahwa pelaku pungli harus diproses secara hukum untuk memberikan efek jera dan mencegah pengulangan kasus serupa di masa mendatang.
“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, bukan hak istimewa bagi yang mampu membayar,” tutup Fauzan.