Beranda Daerah Pengamat: Dugaan OTT pada Pilkada Banda Aceh Tak Pengaruhi Hasil Pleno KIP

Pengamat: Dugaan OTT pada Pilkada Banda Aceh Tak Pengaruhi Hasil Pleno KIP

Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Muhammad Zubir, SH, MH.

Banda Aceh, Buana.News – Polemik terkait dugaan tindak pidana money politik yang terjadi dalam Pilkada Banda Aceh terus mengundang reaksi dari berbagai pihak. Bahkan, isu ini mencuat setelah adanya dugaan operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan relawan salah satu pasangan calon (paslon) di pilkada Banda Aceh.

Namun, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslih) Banda Aceh telah memutuskan bahwa dugaan OTT tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga kasus ini tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Keputusan ini sesuai dengan amanat Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 9 Tahun 2024.

Salah satu reaksi terhadap keputusan ini muncul dari sekelompok pendemo yang mengatasnamakan diri mereka sebagai pendukung salah satu pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Mereka menggelar aksi di depan kantor Panwaslih Banda Aceh dan menuntut agar paslon pemenang didiskualifikasi, dengan tuduhan memberikan uang kepada pemilih.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Muhammad Zubir, SH, MH, menyatakan bahwa dugaan OTT money politik dalam pilkada tidak berpotensi mengubah hasil pleno Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh. Menurutnya, hingga saat ini belum ada kasus OTT yang menyebabkan pasangan calon (paslon) terpilih gugur atau tidak dilantik, karena sanksi pidana pemilu hanya dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran, bukan pada paslon yang menang.

“Upaya hukum yang dapat mempengaruhi hasil pleno KIP Banda Aceh adalah melalui gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, gugatan tersebut harus memenuhi syarat formil, di antaranya, selisih suara antara pasangan calon pemenang dan pasangan calon di bawahnya tidak boleh lebih dari 2 persen. Di Banda Aceh, selisih suara antara paslon Illiza – Afdhal dengan paslon lainnya jauh di atas 2 persen, sehingga gugatan ke MK sulit untuk dilakukan,” kata Zubir.

Zubir menjelaskan bahwa dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada), MK berpedoman pada dua hal. Pertama, permohonan sengketa harus diajukan oleh pasangan calon kepala daerah. Kedua, gugatan harus memenuhi syarat formil, termasuk ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Mengenai dugaan tindak pidana pemilu, Zubir menekankan bahwa proses hukum harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. “Pelaporan dugaan tindak pidana pemilu melalui mekanisme yang ada, dan proses hukumnya dilakukan oleh Gakkumdu Panwaslih. Proses hukum tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus mengikuti prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Zubir mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dalam menyebarkan tuduhan tanpa dasar yang jelas. “Jika dugaan OTT tidak dapat dibuktikan secara hukum, maka penindakan juga tidak dapat dilakukan. Kami mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan tuduhan yang belum terbukti atau belum ada putusan dari lembaga resmi, karena itu bisa dianggap sebagai penyebaran hoaks yang dapat dipidana,” tutup Zubir, yang juga seorang pengacara di Aceh.