Aceh Barat, Buana.News – Pemilik lahan yang mengklaim tanahnya telah diambil alih oleh PT Mifa mengambil langkah hukum dengan menunjuk Kantor Hukum Commanders Law sebagai kuasa hukum. Kantor hukum yang beralamat di Jalan Dr. Mr. Mohd. Hassan, Gampong Batoh, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh, ini akan menangani proses hukum atas kasus tersebut.
Pemilik lahan menunjuk empat pengacara dari Commanders Law sebagai tim advokasi, yaitu, Muzakir AR., S.H, Salman, S.H, Rini Santia, S.H dan Nasruddin, S.H.
Langkah ini menunjukkan keseriusan pemilik lahan dalam memperjuangkan hak-haknya atas dugaan pengambilalihan tanah tanpa ganti rugi. Pemilik berharap melalui proses hukum ini, hak-haknya dapat dipulihkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kronologi dan Klaim Pemilik Lahan
Tanah yang menjadi objek sengketa berada di Desa Sumber Batu, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Tanah tersebut dibeli oleh T. Ridwan dengan sertifikat Nanarundana No. 298 dan Apri dengan nomor Sertifikat 313.
Melalui siaran pers yang diterima media ini, Minggu (13/10), T. Ridwan menjelaskan, kepemilikan tanahnya dimulai pada tahun 1989, di tengah konflik di Aceh. Saat itu, warga transmigran dari Jawa yang tinggal di Desa Sumber Batu merasa khawatir dengan keselamatan mereka akibat isu-isu keamanan. Banyak dari mereka memutuskan menjual aset, seperti tanah, bangunan, dan ternak, sebelum meninggalkan Aceh.
Tuntutan Ganti Rugi kepada PT Mifa
T. Ridwan menyatakan bahwa ia tidak keberatan atas penggunaan tanahnya oleh PT Mifa. Namun, ia berharap perusahaan memberikan ganti rugi yang sesuai atas lahan tersebut. “Saya hanya berharap PT Mifa memenuhi kewajibannya dengan memberikan kompensasi yang layak,” kata T. Ridwan.
Ketua tim hukum Commanders Law, Muzakir AR., S.H., menegaskan bahwa hak kliennya dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama dalam Pasal 27 hingga Pasal 34, yang mengakui dan melindungi hak-hak warga negara. “Pengambilalihan tanah masyarakat tanpa kompensasi yang wajar melanggar prinsip keadilan dan melukai konstitusi,” ujar Muzakir.
Ia juga menekankan bahwa tindakan semacam ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap negara dan bisa memicu konflik sosial berkepanjangan. “Kebijakan terkait pengambilalihan lahan harus sesuai dengan ketentuan konstitusi dan memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terdampak,” tambahnya.
“Dengan melibatkan tim hukum profesional, pemilik lahan berharap proses hukum dapat berjalan dengan baik dan hak-haknya dapat ditegakkan,” demikian terangnya.