Beranda Headline Kaburnya Napi di LP Kutacane, Komisi XIII DPR RI Soroti Kondisi Lapas...

Kaburnya Napi di LP Kutacane, Komisi XIII DPR RI Soroti Kondisi Lapas di Aceh

Anggota Komisi XIII DPR RI, Jamaluddin Idham.

Jakarta, Buana.News – Anggota Komisi XIII DPR RI, Jamaluddin Idham, menyoroti kaburnya narapidana dari Lapas Kelas IIB Kutacane, Aceh Tenggara. Ia menilai, insiden ini tidak hanya disebabkan oleh faktor layanan, tetapi juga permasalahan infrastruktur dan keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di lembaga pemasyarakatan.

Menurut Jamaluddin, banyak cabang rumah tahanan (Rutan) yang telah ditingkatkan statusnya menjadi lembaga pemasyarakatan (Lapas) kelas II maupun III. Namun, peningkatan status ini tidak diikuti dengan peningkatan fasilitas dan jumlah petugas yang memadai.

“Hal yang perlu diperhatikan adalah fasilitas dan jumlah petugas di Lapas. Saat ini, hampir semua Rutan ditingkatkan menjadi Lapas kelas II atau III, tetapi peningkatan tersebut tidak diiringi dengan peningkatan sarana dan SDM. Ini menjadi faktor utama yang menyebabkan lemahnya sistem pengamanan di dalam Lapas,” ujar Jamaluddin.

Dalam kunjungannya ke Lapas Kutacane, Jamaluddin menemukan bahwa kapasitas maksimal Lapas ini seharusnya hanya 100 orang. Namun, saat ini Lapas tersebut dihuni oleh 362 narapidana, jauh melebihi kapasitas idealnya. Selain itu, jumlah petugas yang ada tidak sebanding dengan jumlah narapidana yang harus diawasi.

“Saya melihat langsung kondisi di Lapas Kutacane. Seharusnya hanya dihuni oleh 100 orang, tetapi saat ini ada 362 narapidana. Dengan jumlah petugas yang terbatas, insiden pelarian seperti ini sangat mungkin terjadi di Lapas lain,” jelasnya setelah melakukan kunjungan bersama Dirjen Pemasyarakatan (PAS), Mashudi.

Jamaluddin berencana membawa temuan ini dalam rapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk membahas langkah-langkah perbaikan sistem pemasyarakatan di Aceh.

Selain aspek pengamanan, Jamaluddin juga menyoroti pentingnya pembinaan bagi narapidana dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia (HAM). Ia menekankan bahwa makanan yang disediakan harus memenuhi standar kesehatan, serta fasilitas ibadah harus diperhatikan, terutama di bulan Ramadan.

“Saya juga mendapatkan laporan mengenai kondisi napi yang telah ditangkap kembali. Penanganannya harus tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Standarisasi makanan dan fasilitas ibadah di Lapas juga harus dipastikan sesuai standar, apalagi di bulan puasa ini,” tambahnya.

Jamaluddin juga menyoroti keberadaan napi dengan tingkat risiko tinggi di Lapas. Biasanya, narapidana berisiko tinggi akan ditempatkan di Lapas dengan tingkat keamanan super maksimum, seperti di Nusakambangan, Jawa Tengah. Namun, hal ini menyulitkan keluarga napi dalam melakukan kunjungan karena jarak yang jauh.

Sebagai solusinya, ia mengusulkan agar Lapas Super Maximum Security dibangun di Aceh, tepatnya di Pulau Simeulue.

“Jika narapidana berisiko tinggi dikirim ke Nusakambangan, tentu akan menyulitkan keluarga mereka untuk berkunjung. Oleh karena itu, kami akan mengusulkan kepada Menkumham agar fasilitas serupa dibangun di Sinabang, Aceh, sehingga sistem pengamanan bisa lebih optimal tanpa harus mengirim napi jauh ke luar Aceh,” pungkasnya.