Beranda Aceh Becana Aceh Utara, “Andai Pemilu di Depan Mata” Pasti Mereka Berlomba

Becana Aceh Utara, “Andai Pemilu di Depan Mata” Pasti Mereka Berlomba

Opini Publik:Sayful Tanlus

Aceh Utara – Musibah banjir bandang yang melanda Aceh Utara telah membuka mata kita tentang satu kenyataan pahit: betapa lemahnya perhatian pemerintah daerah dan para pemangku jabatan terhadap rakyatnya ketika bencana datang tanpa membawa kepentingan politik. Ribuan kepala keluarga kini bertahan di tenda pengungsian, menunggu bantuan yang tak kunjung tiba, sementara puing-puing rumah mereka masih menumpuk bersama gelondongan kayu raksasa yang belum tersentuh penanganan.

Yang lebih menyedihkan, keadaan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan suasana menjelang pemilu. Kita semua tentu masih ingat, di musim kampanye, pejabat dan calon wakil rakyat berlomba-lomba turun ke masyarakat. Bantuan datang tidak hanya berupa pangan, tetapi juga berbagai atribut politik: kalender, kaos, spanduk, poster—semuanya dibagikan dengan murah hati. Bahkan, jika kejadian banjir ini berlangsung di masa kampanye, barangkali tenda pengungsian akan penuh dengan wajah para caleg yang tercetak di kalender, dan spanduk kampanye bisa saja menjadi selimut darurat bagi para korban.

Ironis, namun itulah kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri. Ketika rakyat membutuhkan perhatian karena bencana, yang hadir hanya warga dari desa tetangga. Sementara para pejabat yang selama ini bersuara lantang ketika meminta dukungan, justru tak terlihat di tengah derita masyarakat.

Opini publik yang berkembang saat ini jelas: masyarakat merasa diabaikan. Ada kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintah daerah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanganan bencana. Bagaimana mungkin, di tengah musibah sebesar ini, bantuan tidak mengalir dengan cepat? Bagaimana mungkin ratusan warga yang kehilangan rumah justru bergantung pada bantuan spontan dari masyarakat sekitar?

Musibah banjir ini semestinya menjadi cermin, baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Bagi pemerintah, ini adalah ujian moral: apakah mereka hadir hanya ketika membutuhkan suara rakyat? Bagi masyarakat, ini harus menjadi pengalaman berharga: bahwa suara yang diberikan pada pemilu adalah amanah yang menentukan siapa yang benar-benar peduli, dan siapa yang hanya muncul saat kampanye berlangsung.

Harapannya sederhana: semoga musibah ini mengubah cara pandang kita. Bahwa memilih pemimpin bukan soal siapa yang paling sering muncul menjelang pemilu, tetapi siapa yang paling cepat hadir ketika rakyat sedang dalam kesulitan.

Karena jika kepedulian hanya muncul saat pemilu di depan mata, maka keadilan sosial hanyalah slogan, dan rakyat akan terus menjadi korban yang terlupakan di tengah panggung politik yang penuh kepura-puraan.