Aceh Utara, Buana News – Di balik deru pembangunan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terus digembar-gemborkan, kisah memilukan datang dari sudut sepi Desa Tanjong Haji Muda, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara. Ismail (40), seorang buruh tani bersama istri dan tiga anaknya, telah hidup dalam keterbatasan ekstrem selama belasan tahun dengan tinggal di sebuah gubuk reyot berukuran hanya 3×4 meter.
Gubuk yang mereka sebut sebagai rumah itu jauh dari kata layak huni. Lantainya masih berupa tanah, dindingnya dari terpal dan anyaman bambu yang sudah lapuk dan berlubang. Tiang penyangga bangunan dari batang bambu tua, dan atapnya terbuat dari seng bekas yang berkarat dan bocor. Lebih menyedihkan lagi, tempat tinggal mereka sama sekali tidak memiliki fasilitas sanitasi dasar.
Saat di Kunjugi Buana.News pada Rabu 28 Mei 2025, Ismail mengaku, dirinya hanya mampu bekerja sebagai buruh tani harian dengan pendapatan tak menentu, antara Rp30.000 hingga Rp50.000 per hari. “Kadang-kadang kalau hujan, kami semua basah, tidur pun harus berdempetan dengan tikar seadanya. Untuk makan sehari-hari saja pas-pasan, apalagi untuk biaya sekolah anak-anak,” ungkapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Namun yang paling menyayat hati, selama bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan seperti itu, Ismail dan keluarganya tak pernah sekalipun tersentuh bantuan rumah layak huni dari pemerintah, Baitul Mal Aceh Utara. Bahkan dari anggaran dana desa untuk program rehab rumah pun, namanya tak pernah masuk dalam daftar penerima.
“Sudah sering saya tanya dan ajukan, tapi katanya tidak layak, padahal kami tinggal seperti ini. Saya juga tidak tahu lagi harus ke siapa,” ujar Ismail dengan nada penuh keputusasaan.
Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam pendataan dan distribusi bantuan sosial. Sangat ironis, di tengah sorotan publik terhadap kemiskinan dan anggaran pemerintah yang seharusnya dialokasikan untuk masyarakat rentan, masih ada keluarga seperti Ismail yang luput dari perhatian.
Kisah keluarga Ismail bukan sekadar potret kemiskinan, tapi sebuah tamparan nyata bagi semua pihak yang memiliki kewenangan untuk membantu. Sudah saatnya pemerintah desa, kabupaten, dan provinsi membuka mata dan hati, turun langsung ke lapangan, dan menyentuh mereka yang benar-benar membutuhkan.
Karena di sudut gelap kehidupan seperti milik Ismail, harapan akan perubahan hanya bisa tumbuh jika keadilan dan empati benar-benar hadir, bukan sekadar wacana.