Aceh Utara, Buana News — Situasi di Desa Kilometer 8, Kecamatan Simpang Kramat, kembali memanas. Warga setempat menilai PT Satya Agung telah mengingkari komitmen yang sebelumnya disepakati bersama dalam audiensi pada Selasa, 30 September lalu di Royal Coffee Lhokseumawe. Pertemuan itu digelar untuk menuntaskan persoalan lahan HGU No. 2 atas nama PT Satya Agung, yang sejak lama digarap warga dan menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak disebut telah menyetujui sebuah surat perjanjian pelepasan lahan. Salah satu poin paling krusial terdapat pada poin pertama, yang berbunyi bahwa PT Satya Agung bersedia melepaskan lahan yang telah ditanami oleh masyarakat Kilometer VIII kepada pihak yang saat ini menanami lahan tersebut. Poin itu juga menegaskan bahwa pelepasan lahan hanya mencakup area yang memang telah digarap masyarakat, tidak termasuk lahan yang dikuasai dan ditanami oleh perusahaan. Lokasi lahan yang akan dilepaskan pun jelas: berada dalam wilayah Desa Kilometer VIII, Kecamatan Simpang Kramat, Aceh Utara.
Lebih jauh, kesepakatan tersebut juga mencakup komitmen perusahaan untuk melakukan inventarisasi ulang terhadap total luas lahan, serta kesediaannya menandatangani surat penyerahan lahan kepada para penggarap yang sah.
Namun harapan warga untuk memperoleh kepastian justru kembali pupus. Pihak pemerintah Desa melalui perwakilannya, Muhammad alias Amad Kadus, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap PT Satya Agung. Menurutnya, alih-alih memberikan surat perjanjian penyerahan lahan yang telah disepakati, perusahaan justru menyerahkan salinan berita acara lama—yaitu dokumen hasil pertemuan yang pernah difasilitasi anggota DPD RI beberapa bulan sebelumnya.
“Sangat disayangkan. Yang mereka serahkan kepada kami bukan surat perjanjian yang mereka tanda tangani, tetapi hanya berita acara pertemuan lama. Ini jelas bentuk pengabaian.” tegas Muhammad.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah desa sebelumnya telah memberikan jaminan bahwa masyarakat tidak akan lagi mengajukan tuntutan atau mengganggu aktivitas perusahaan jika perjanjian itu direalisasikan. Namun dengan langkah terbaru PT Satya Agung, jaminan tersebut disebut tidak dapat lagi dipegang.
“Kami merasa ditipu dan dipermainkan oleh PT Satya Agung. Saat ini saya tidak bisa menjamin masyarakat Kilometer 8 untuk tidak melakukan aksi yang lebih besar terkait HGU seluas 134 hektar itu.” tambahnya dengan nada kecewa.

Masyarakat menilai tindakan PT Satya Agung bukan hanya pelanggaran komitmen, tetapi juga bentuk penghinaan terhadap upaya mereka mencari penyelesaian secara damai. Konflik lahan yang tak kunjung tuntas ini pun berpotensi kembali memicu gelombang protes yang lebih besar jika perusahaan tidak segera menunjukkan itikad baik.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Satya Agung belum memberikan klarifikasi resmi pada media yang dikonfirmasi lewat pesan washapp terkait dugaan pengingkaran perjanjian tersebut.