Beranda Aceh Pajak Mencekik dan Birokrasi Berbelit: Rakyat Aceh Utara Terus Terjepit

Pajak Mencekik dan Birokrasi Berbelit: Rakyat Aceh Utara Terus Terjepit

Opini Publik. Oleh: [ Sayful Tanlus ]

Buana News – Aceh Utara saat ini sedang menghadapi paradoks yang menyakitkan. Di satu sisi, pemerintah gencar mengusung slogan “Aceh Utara Bangkit”, namun di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan bahwa rakyat justru semakin terpuruk akibat kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan masyarakat kecil. Terutama dalam hal perpajakan dan pengurusan administrasi pertanahan.

Selama berbulan-bulan, masyarakat harus bersabar menunggu kelengkapan pejabat untuk urusan administrasi jual beli tanah. Ketika akhirnya camat dilantik, warga kembali diuji dengan lambatnya pelantikan pejabat pembuat akta tanah. Padahal, kebutuhan akan legalitas tanah sangat mendesak dan menyangkut banyak aspek kehidupan warga, dari akses permodalan hingga pembangunan ekonomi keluarga.

Namun ironi terbesar muncul saat semua rintangan birokrasi itu berhasil dilalui. Alih-alih diberikan kemudahan, masyarakat justru dihadapkan pada kenaikan pajak dan penetapan harga tanah yang jauh dari nilai transaksi riil. Sebagai contoh, tanah kebun atau lahan kampung yang dibeli warga seharga Rp30.000 per meter, dalam proses pengurusan Akta Jual Beli (AJB) harus dikenakan pajak berdasarkan harga yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 152.000 per meter.

Di sinilah rakyat dikuras. Kebijakan ini terasa tidak adil dan seolah-olah pemerintah lebih fokus pada mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada memperhatikan kondisi ekonomi rakyatnya. Lebih menyakitkan lagi, masyarakat tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam penetapan nilai pasar tanah ini. Proses yang seharusnya mempertimbangkan kondisi ekonomi lokal, malah menjadi instrumen pemerasan terselubung yang dibungkus kebijakan resmi.

Menurut pengakuan warga, mereka khawatir bahwa pola ini akan terus berulang dalam berbagai bentuk. Pemerintah akan terus mencari celah untuk menarik pajak dan retribusi tanpa memperhatikan daya tahan masyarakat. Maka tidak heran jika “Aceh Utara Bangkit” mulai dipandang sebagian warga sebagai slogan kosong yang lebih melayani elite birokrasi ketimbang masyarakat di tingkat bawah.

Jika pemerintah daerah benar-benar ingin membangkitkan Aceh Utara, maka fondasinya harus dimulai dari keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat. Tidak cukup hanya dengan menggembor-gemborkan program pembangunan tanpa menghadirkan kemudahan dan rasa keadilan dalam praktiknya.

Kebijakan yang mempersulit rakyat hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Dalam konteks demokrasi, suara rakyat bukan sekadar formalitas lima tahunan, tetapi menjadi tolak ukur sejauh mana sebuah pemerintahan layak disebut berpihak pada kepentingan warganya.

Aceh Utara tak butuh pajak yang mencekik, tapi kepastian hukum yang mudah, terjangkau, dan adil. Karena dari tanah rakyat kecil itulah, bangkitnya daerah ini seharusnya dimulai.