Oleh: Mundirsyah (Robert), Anggota Komisi III DPRK Aceh Utara Praksi PNA
Buana News, Opini Publik – Dua puluh tahun lalu, suara yang paling sering terdengar di banyak kampung di Aceh Utara bukanlah nyanyian anak-anak sekolah atau azan dari surau kecil di tepi sawah. Yang terdengar adalah dentuman senjata, teriakan orang berlarian, dan kabar duka yang datang hampir setiap minggu.
Saya masih ingat, di sebuah desa di pedalaman, seorang anak kecil bertanya kepada ibunya, “Mak, kapan kita bisa tidur tanpa mimpi buruk?” Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa berat di dada siapa pun yang mendengarnya.
Hari ini, 20 tahun setelah MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, anak-anak di desa itu sudah berlarian di lapangan, bernyanyi di kelas, dan bercita-cita menjadi dokter atau guru. Suara tembakan telah berganti dengan suara bola plastik yang ditendang di halaman sekolah.
Sebagai putra daerah dan kini anggota DPRK Aceh Utara, saya melihat langsung betapa berharganya perdamaian ini. Kita sudah menikmati banyak kemajuan—jalan-jalan mulus menghubungkan kampung, jembatan yang dulu roboh kini kokoh berdiri, dan ruang politik yang terbuka memberi kesempatan bagi siapa saja untuk ikut membangun daerah.
Namun, saya juga harus jujur: tidak semua luka sudah sembuh. Kemiskinan masih membayangi, pengangguran tetap menjadi masalah, dan kesenjangan antarwilayah belum sepenuhnya teratasi. Saya sering melihat desa dengan bangunan megah, tapi anak mudanya terpaksa merantau karena tak ada pekerjaan di rumah sendiri.
Ada pula janji-janji dalam MoU yang belum sepenuhnya terpenuhi. Soal pengelolaan sumber daya alam yang adil, misalnya, masih menjadi pekerjaan rumah. Jika poin-poin penting ini dibiarkan tertunda, saya khawatir harapan yang kita bangun selama dua dekade bisa retak.
Perdamaian yang kita miliki sekarang bukan hadiah, tapi hasil darah, air mata, dan doa generasi sebelum kita. Menjaganya berarti memastikan rakyat merasa adil, aman, dan sejahtera. Bagi saya, itu berarti setiap kebijakan di DPRK harus lahir dari nurani, berpihak pada masyarakat, dan bebas dari kepentingan sempit.
Dua puluh tahun ini adalah bukti bahwa Aceh mampu hidup tanpa perang. Mari kita rawat janji Helsinki seperti kita menjaga nyawa sendiri—agar anak-anak kita hanya mengenal suara nyanyian di sekolah, bukan dentuman di malam hari.