Beranda Aceh Utara Dinkes Aceh Utara Terapkan Sestem Terintegrtas untuk Tangani TBC Dengan Kolaborasi Lintas...

Dinkes Aceh Utara Terapkan Sestem Terintegrtas untuk Tangani TBC Dengan Kolaborasi Lintas Sektor

Foto: Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh Utara, Sofyan, SKM, MKM.

Aceh Utara, Buana.News — Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Aceh Utara menerapkan sistem terintegrasi dalam penanggulangan tuberkulosis (TBC) paru sebagai bagian dari strategi nasional menuju eliminasi TBC pada tahun 2030. Sistem tersebut melibatkan kolaborasi antara fasilitas kesehatan, organisasi profesi, dan komunitas lokal.

Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh Utara, Sofyan, SKM, MKM, saat ditemui di ruang kerjanya pada Jumat, 11 Juli 2025. Menurutnya, sistem terintegrasi ini telah aktif dijalankan dalam beberapa tahun terakhir dan diperkuat sejak 2023.

“Kami mengedepankan pendekatan kolaboratif dengan mengintegrasikan layanan rumah sakit, puskesmas, organisasi profesi, dan komunitas,” ujar Sofyan.

Ia menjelaskan, sistem ini mencakup enam pilar utama, yaitu skrining dan penemuan kasus, diagnosis, pengobatan, pemantauan, edukasi masyarakat, serta pengawasan berkelanjutan.

“Melalui pendekatan tersebut, kami berupaya menurunkan angka kasus baru, meningkatkan angka kesembuhan, dan mencegah terjadinya resistensi obat,” jelasnya.

Sebagai koordinator utama, Dinkes menggandeng berbagai pihak dalam pelaksanaan teknis di lapangan, termasuk RSUD Cut Meutia, 32 puskesmas di seluruh kecamatan, tenaga kesehatan di fasilitas tingkat pertama (FKTP), serta kader kesehatan masyarakat.

Organisasi seperti Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga turut dilibatkan, antara lain melalui program “Desa Bebas TBC” yang berfokus pada edukasi dan pemberdayaan masyarakat.

Sofyan menyebutkan, upaya deteksi dilakukan secara aktif melalui kunjungan rumah oleh petugas kesehatan. Mereka mencari gejala TBC seperti batuk lebih dari dua minggu, demam, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan dahak dilakukan di puskesmas maupun secara jemput bola. Untuk proses diagnosis, selain metode mikroskopis konvensional, saat ini juga digunakan teknologi Tes Cepat Molekuler (TCM) dan ultrasonografi (USG) guna memperoleh hasil yang lebih cepat dan akurat.

Dalam hal pengobatan, kata Sofyan, pasien TBC sensitif menjalani terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama selama enam bulan. Sementara itu, pasien dengan TBC resisten obat (MDR-TB) memerlukan pengobatan lini kedua selama 11 hingga 20 bulan, dengan pengawasan ketat melalui sistem Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).

“Seluruh data kasus tercatat dalam Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), baik secara manual maupun daring, dan dipantau secara berkala pada bulan ke-2, ke-5, dan ke-6 pengobatan,” tambahnya.

Program penanggulangan TBC ini mencakup seluruh wilayah Aceh Utara dengan RSUD Cut Meutia sebagai rumah sakit rujukan utama. Selain memberikan layanan klinis, RSUD juga berfungsi sebagai pusat edukasi masyarakat melalui berbagai kampanye kesehatan, termasuk dalam rangka peringatan Hari TBC Sedunia.

Sejak diperkuat pada 2023, program ini telah menunjukkan hasil nyata. RSUD Cut Meutia mencatat penanganan sekitar 500 kasus TBC sensitif dan 14 kasus MDR-TB.

Namun demikian, tantangan masih ada. Beberapa puskesmas menghadapi keterbatasan fasilitas laboratorium dan kendala transportasi pasien. Untuk itu, Dinkes mendorong peningkatan koordinasi lintas sektor serta penguatan pelatihan bagi tenaga FKTP agar pelayanan tetap optimal.

Dengan pendekatan sistematis dan kolaboratif ini, Dinas Kesehatan Aceh Utara menunjukkan komitmen kuat dalam memerangi TBC paru. Model terintegrasi yang diterapkan diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam mendukung pencapaian target eliminasi TBC secara nasional pada 2030. (ADV).