Buana.News – Wakil Ketua MPU, Tgk Faisal Ali mengkritisi pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Agama, soal bioskop yang tidak ada di Aceh. Kemudian, membandingkan Aceh dengan Jeddah. Menurut Faisal Ali, saat ini bioskop belum dibutuhkan oleh masyarakat Aceh. Sehingga, kata dia, bioskop tidak perlu di bangun, apalagi dengan alasan untuk hiburan.
Sebelumnya di Aceh memang ada beberapa bioskop, pada tahun-tahun sebelum konflik ada. Seringnya kami mengatakan itu bukan bioskop tapi Panggung Hiburan Rakyat (PHR). Bahkan sekarang pun masih dikenal nama ini ditelinga kita, meski banyak yang tidak tahu. PHR lebih kecil dari Bioskop, fasilitasnya lebih buruk meskipun tiketnya murah. sepanjang tahun 1991–1994, menikmati duduk di kelas ekonomi dengan alas pokok kelapa. Berbeda dengan bioskop, di PHR, tak ada penonton perempuan.
Namun seiring waktu PHR ini pun tutup, kemudian digantikan dengan bioskop. Hanya saja, bioskop tersebut hanya digemari laki-laki. Tak ada perempuan yang menonton di sana. film-film yang diputar lebih sering berbau vulgar. Di Merpati misalnya, reklame iklan di depan Bioskop selalu beda dengan film yang diputar di dalam. Reklame memasang film-film laga, tapi di dalam, yang disajikan adalah film dewasa. Anak-anak belasan tahun dilarang masuk ke sana.
Menonton bersama kekasih lumrah saat itu. Di ruang bioskop, orang-orang bisa bergandengan tangan dan berpelukan dengan nonmuhrim. Sebuah pemandangan mustahil bisa dilakukan sekarang di ruang publik. Aturan syariat Islam dengan pengawasan Polisi Syariah belum ada. Pengawasan perilaku muda-mudi baru mulai dilakukan Pemerintah Aceh sejak 2002, menyusul pemberlakuan syariat Islam di Aceh pada 2001.
Saat konflik memuncak pada tahun 2000, beberapa bioskop di kabupaten/kota di Aceh gulung tikar. Sulitnya bioskop beroperasi di malam hari menjadi salah satu alasannya, suasana konflik mencekam warga untuk keluar rumah sampai larut.
Pemberlakukan syariat Islam di Aceh tahun 2001 membuat aturan semakin ketat, sejumlah Qanun (peraturan daerah) dilahirkan pada tahun-tahun berikutnya untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam. Salah satunya Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang khalwat. Disebutkan, qanun bertujuan untuk menegakkan syariah dan adat istiadat di Aceh, melindungi publik dari tindakan-tindakan yang merusak kehormatan dan martabat mereka, mencegah anggota masyarakat melakukan perzinahan dan sejenisnya sejak dini, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, dan mencegah penurunan moral masyarakat.
Tak ada aturan khusus tentang pelarangan bioskop di Aceh. Tapi, Majelis Permusyaratan Ulama (MPU) Aceh punya satu fatwa tentang ‘Syarat-syarat Keramaian’ untuk mendukung tegaknya aturan syariat. Aturan itu tercantum dalam Keputusan MPU Aceh Nomor 06 Tahun 2003 tertanggal 9 November 2003. Keramaian yang dimaksud adalah bersifat hiburan, laiknya konser, dan pertunjukan seni hiburan lainnya.
Salah satu syarat keramaian yang disebut adalah para pemain, pemegang peran dalam pertunjukan yang ditampilkan tidak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya juga, materi, bentuk, cara penampilan tidak menjurus maksiat, pornografi. Tidak membawa kepada syirik, merusak akidah, melecehkan agama, dan moral. Bioskop dinilai membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap aturan tersebut, sehingga mendapat pengawasan ketat dari polisi syariah.
Boleh hukumnya menonton film, dengan syarat wajib infishal, yaitu penonton laki-laki dan perempuan terpisah. Jika penonton laki-laki dan perempuan bercampur aduk (ikhtilath) hukumnya haram. (Atha` Abu Rasytah, Ajwibah As’ilah 10 Oktober 2006, hlm. 3).
Dalil kebolehannya ialah dalil-dalil umum yang membolehkan perbuatan melihat (nazhar) secara umum. Misal firman Allah SWT (artinya), ”Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS Yunus [10] : 101). Juga firman-Nya (artinya), ”Katakanlah, ‘Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (QS Al-Mulk [67] : 23).
Ayat-ayat ini menunjukkan perbuatan melihat (nazhar) hukum asalnya boleh, kecuali jika ada dalil yang mengharamkan melihat sesuatu, misal melihat aurat. Perbuatan melihat ini disebut perbuatan jibiliyyah, yakni perbuatan yang secara fitrah dilakukan manusia sejak penciptaannya, seperti berdiri, berjalan, tidur, makan, minum, melihat, dan mendengar. (Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, I/173; Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hlm. 260).
Adapun syarat infishal, didasarkan pada sejumlah dalil. Di antaranya : Pertama, Nabi SAW telah menetapkan ketika shalat shaf laki-laki di depan sedang shaf perempuan di belakang. (HR Bukhari dari Anas). Kedua, pada masa Nabi SAW jika selesai shalat, jamaah perempuan keluar dari masjid lebih dulu, setelah itu jamaah laki-laki. (HR Bukhari dari Ummu Salamah). Ketiga, Nabi SAW memberi pengajaran kepada laki-laki dan perempuan pada hari yang berbeda. (HR Bukhari dari Abu Said Al-Khudri).
Dalil-dalil ini menunjukkan laki-laki dan perempuan pada asalnya wajib terpisah. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu yang dibolehkan oleh syara’, misalnya beribadah haji, berjual-beli, ijarah (sewa menyewa), belajar, berobat, merawat orang sakit, menjalankan bisnis pertanian, industri, dan yang semisalnya. (An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 37; An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hlm. 321; Abu Nashr Al-Imam, Al-Ikhtilath Ashl Al-Syarr, hlm. 39).
Maka, kelompok penonton laki-laki dan perempuan di bioskop wajib terpisah, sebab keterpisahan ini merupakan prinsip asal dalam pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Menonton itu memang hal yang mubah, namun akan menjadi haram apabila tontonan itu menjurus kepada kemaksiatan dan ditambah dengan perilaku manusia yang ada di dalamnya. Bioskop seringkali dijadikan tempat maksiat, disadari atau tidak itulah kenyataanya. Bukankah kita tahu pada saat pemutaran film semua lampu dimatikan. Dengan dimatikannya lampu maka mulailah para penggiat kemaksiatan melakukan aksinya. Tidak di pungkiri inilah yang kemudian menjadi pertimbangan dari larangan menonton bioskop. Bahkan banyaknya bioskop yang gulung tikar pada masa konflik Aceh. Jika kemudian bioskop ini dijadikan tempat yang membuat para pemuda semakin sadar akan kekuasaan Allah, maka akan berbeda fungsinya menambah ketaatan kepada Allah.
Seharusnya melihat bagaimana perjuangan para ulama yang mencoba menegakkan syariat Islam di Aceh. Tak perlu membandingkan antara Aceh dan Jeddah. Arab itu hanya sebuah negara yang sama seperti Indonesia, mengadopsi sistem kapitalis yang memisahkan agama dengan kehidupan. Yang membuat Arab itu spesial hanyalah karena Mekkah dan Madinah, yaitu dua kota suci dimana sang Rasul tercinta dilahirkan dan kemudian hijrah dan mendirikan negara disana. Atau tempat bermulanya titik dakwah, konon lagi berdekatan dengan rumah Allah (Ka’bah). Sedangkan Arab tidak mengadopsi Islam secara kaffah tapi hanya ritual sama seperti Indonesia. Bukankah Arab yang dulu seperti Aceh sekarang ? bedanya Aceh ingin menerapkan syariat Islam meski belum kaffah, namun usaha menuju kesana semakin mendapat perhatian khusus. Wallahu A’lam. (Red).
Ditulis Oleh : Cut Zhiya Kelana, S.Kom